BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, produk
makanan dan minuman sudah sangat banyak rupa dan macamnya. Dari harga yang
seribuan hingga yang seratus ribuan, produk makanan ini tersebar luas di
hadapan kita. Seiring perkembangan teknologi, makanan manusia di jaman ini juga
sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seperti halnya mereka
menginginkan pakaian dan elektronik yang canggih, maka mereka juga menginginkan
makanan yang canggih yakni instan, berpenampilan menarik, dan enak rasanya. Hal
ini terbukti dari penjualan produk makanan dan minuman ringan yang sangat
fantastis. Padahal mereka tidak menyadari dari mana penampilan menarik tersebut
muncul.
Bahan Tambahan
Makanan (BTP) atau yang lebih sering kita kenal dengan Zat Aditif Makanan. Peraturan
mengenai BTP tertulis jelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 722 tahun
1988 tentang Bahan Tambahan Makanan (Lampiran II) atau yang lebih akrab kita
sebut Permenkes 722/88. Seiring
perkembangan ilmu teknologi pangan dan adanya kajian ilmiah terbaru mengenai
keamanan BTP yang ada di dunia saat ini, maka saat ini Badan POM bersama dengan
Pakar terkait sedang mempersiapkan revisi dari Permenkes 722/88 tersebut yang
nantinya revisi peraturan ini akan dimandatorikan melalui Peraturan Kepala BPOM
tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan dalam Pangan. Sampai saat
ini, rancangan peraturan tersebut masih dalam tahap pembahasan bersama Tim
Pakar.
Penggunaan BTP ke dalam produk pangan ditujukan untuk
menghasilkan produk yang mempunyai rasa yang
enak, berwarna menarik, lebih awet serta mempunyai berbagai macam rasa sesuai
perkembangan jaman dan permintaan konsumen. Kemajuan ilmu teknologi pangan dan
inovasi oleh produsen karena adanya permintaan dari konsumen di dunia dewasa
ini, juga menyebabkan meningkatnya penggunaan BTP pada produk-produk ini. Beberapa penggunaan BTP dalam produk
makanan adalah pewarna makanan, penguat rasa. perisa, penstabil, pengemulsi, pengental, pengembang,
pengawet dan lainnya.
Penstabil, pengemulsi dan pengental memiliki
kemiripan dalam fungsi dan tujuannya sehingga dikategorikan dalam satu poin di
lampiran II permenkes 722/88. Fungsi dari ketiga BTP ini adalah untuk membantu
pembentukan dan pemanatapan sistem dispersi yang homogen pada produk makanan
dan minuman. Sedangkan zat pengembang belum dimasukkan dalam permenkes 722/88
sebagai bahan tambahan makanan, namun zat ini tidak diragukan lagi ia berfungsi
sebagai zat tambahan makanan. Adapun fungsi dari zat ini adalah untuk
mengembangkan produk olahan tepung dalam makanan sejenis roti, kue dsb.
B. Permasalahan
Dari pemaparan di
atas, timbul permasalahan yang selanjutnya akan dikaji dalam makalah ini, yaitu
1.
Apa saja jenis BTP
yang tergolong dalam penstabil, pengemulsi dan pengembang?
2.
Bagaimana ambang
batas yang diperbolehkan untuk BTP tersebut?
3.
Apa BTP penstabil,
pengemulsi dan pengembang yang baik digunakan dalam suatu industry?
C. Tujuan
Dari
permasalahan yang diajukan, maka tujuan pembuatan makalah ini antara lain :
1.
Untuk mengetahui jenis-jenis BTP
yang tergolong dalam penstabil, pengemulsi dan pengembang
2.
Untuk mengetahui ambang batas yang
diperbolehkan untuk BTP tersebut
3.
Untuk memberikan
rujukan kepada industry pangan terkait dalam penggunaan jenis BTP penstabil,
pengemulsi dan pengembang
D. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah ini antara lain :
1.
Dapat memberikan rujukan kepada
industry pangan terkait dalam penggunaan jenis BTP penstabil, pengemulsi dan
pengembang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bahan Tambahan Makanan
Perkembangan ilmu pengetahuan di abad 18 di kawasan
benua Eropa dan Amerika mengakibatkan banyaknya penelitian dan inovasi
diberagam hal, tidak terlepas dari penelitian dan inovasi produk pangan.
Umumnya inovasi produk pangan dilakukan dengan menambahkan zat kimia yang dapat
mengurangi cost produksi dan dapat
mempercepat proses produksi, kemudian inovasi merambah di sektor rasa dan
penampilan produk pangan tersebut.
Pada saat itu belum ada peraturan yang mengatur
tentang penggunaan BTP dalam produk pangan dikarenakan belum ada dampak serius
yang ditimbulkan, namun ketika dampak negatif dari beberapa BTP yang ditemukan
yakni boraks dan formalin di tahun 1904 kemudian peraturan mengenai penggunaan
BTP diberlakukan (Enie, 2006).
Di Indonesia, BTP diatur berdasarkan Peraturan Mentri
Kesehatan No. 722 tahun 1988 (Lampiran II). Definisi dari PP No. 28 tahun 2004
mengenai BTP adalah bahan
yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
pangan (Fitriana, Foodpreview.biz).
Beberapa penggunaan BTP dalam produk
makanan adalah Antioksidan (antioxidant), Anti
kempal (anti caking agent), Pengatur keasaman (acidity regulator), Pemanis
buatan (artificial sweetener), Flour treatmen agent (pemutih dan
pematang tepung), Pengemulsi, Pemantap, Pengental (emulsifier, stabilizer, thickener), Pengawet
(preservative), Pengeras (firming agent), Pewarna (coloring),
Penyedap rasa & aroma, penguat rasa (flavour, flavor enhancer) dan Sekuesteran
(sequesterant) (POM, 1982).
B. Zat Pengemulsi
(emulsifier)
Bahan tambahan pangan jenis pengemulsi merupakan bahan yang dapat
mengemulsikan atau menghomogenkan beberapa fasa dengan kelarutan tertentu agar
diperoleh produk olahan yang homogen. Sifat emulsi ditentukan oleh sistem gaya
yang terbentuk oleh komposisi, jenis bahan yang membentuk emulsi, dan interaksi
antara bahan-bahan tersebut. Berbagai emulsi makanan baik yang bersifat elastis
maupun yang bersifat plastis dapat dibuat dengan mengatur proses pembuatan,
komposisi, dan jenis bahan pembantunya.
Emulsi
yang baik seharusnya stabil, tidak memisah, tidak berubah warna selama
pendiaman, dan tidak berubah konsistensinya. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh
ukuran partikel, perbedan densitas kedua fase, viskositas fase pendispersi,
emulsi keseluruhan, jumlah dan jenis emulsifier, serta kondisi penyimpanan
(Bennet, 1947). Bila sistem emulsi tidak stabil, maka akan terbentuk kembali
lapisan dari kedua fase tersebut. Proses terbentuk dimulai dengan terbentuknya
agregat yang lebih besar dari butiran-butiran minyak, dan berlangsung terus-menerus
sampai terjadi pemisahan.
Menurut
Nawar (1985) emulsifier adalah suatu bahan aktif permukaan untuk mempermudah pembentukan
emulsi atau meningkatkan kestabilitasannya. Kemudahan pembentukan emulsi
disebabkan oleh adanya penurunan tegangan permukaan antara kedua fase,
sedangkan peningkatan stabilitas disebabkan kemampuan emulsifier dalam mencegah
penggabungan antar partikel terdispersi.
Daya kerja
emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekuInya yang dapat terikat baik
pada minyak maupun air. Apabila emulsifier tersebut lebih terikat pada air atau
lebih larut dalam air, maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak
dalam air sehingga terjadi emulsi minyak dalam air (o/w). Sebaliknya, bila
emulsifier lebih larut dalam minyak (non polar), dapat terbentuk emulsi air
dalam minyak (w/o).
Struktur
emulsifier terdiri atas molekul-molekul yang mempunyai gugus lipofil dan
hidrofil. Dalam suatu emulsi, gugus lipofil akan larut dalam fase minyak,
sedangkan gugus hidrofil akan larut dalam fase air. Kedua gugus tersebut
bersama-sama membentuk globula-globula emulsi.
Menurut Petrowski (1976)
parameter yang sering digunakan untuk memilih jenis emulsifier adalah
berdasarkan nilai HLB (Hidrophile-Lipophile Balance). HLB adalah rasio antara
bagian hidrofilik terhadap Iipofilik yang juga merupakan bagian dari sistem
emulsi. Penggunaan emulsifier berdasarkan nilai kisaran HLB-nya seperti yang disajikan
pada Tabel berikut.
Kisaran
HLB dan Penggunaannya (Weiss, 1983)
Kisaran HLB
|
Penggunaan
|
4 – 6
|
Emulsifier (w/o)
|
7 – 9
|
Bahan
pembasah
|
8 – 18
|
Emulsifier (o/w)
|
14 – 15
|
Deterjen
|
Emulsifier
yang mempunyai HLB rendah (2-4) cenderung larut dalam minyak, sedangkan yang
mempunyai nilai HLB tinggi (14-18) cenderung larut dalam air.
Emulsifier, berdasarkan muatannya, dapat digolongkan ke dalam ionik dan
nonionik. Emulsifier golongan ionik dapat bereaksi dengan ion-ion lain
membentuk senyawa kompleks, yang dapat mengurangi kekuatan emulsinya. Berbeda
dengan ionik, emulsifier golongan non-ionik tidak memperlihatkan kecenderungan
untuk berionisasi dan tidak bereaksi dengan ion lain. Berdasarkan hal tersebut
maka emulsifier non-ionik merupakan bahan pengemulsi yang paling banyak
digunakan dalam industri makanan (Powrie dan Tung, 1976). Polioksietilena (20)
sorbiton monooleat atau Tween 80 merupakan bahan pengemulsi non ionik dengan
bahan dasar alkohol heksahidrat, alkilen oksida/oksitilen, dan asam lernak.
Asam Lemak
|
Oksitilen/alkilen oksida
|
Alcohol heksahidrat
|
Polioksietilena
(20) sorbiton monooleat
Sifat hidrofil dari Tween 80 disebabkan oleh adanya gugus hidroksil
bebas dan oksitilen, sedangkan sifat lipofil disebabkan oleh terdapatnya asam
lemak berantai panjang. Tween 80 dapat juga digunakan sebagai bahan pengemulsi
pada produk obat-obatan. Tween 80 berwama kuning, berat jenis 1,06-1,10, dengan
viskositas sebesar 270-430 centistroke, sangat larut dalam air, larut dalam
minyak jagung, minyak biji kapas, elanol, melanol, dan toluena, tetapi tidak larut
dalam minyak mineral (Anomious, 1976).
Daftar
beberapa Emulsifier beserta HLB-nya (Weiss, 1983)
Emulsifier
|
HLB
|
Mono dan
digliserida
|
2,8 – 3,5
|
Gliserol
monostearat
|
3,8
|
Lektilated mono
dan digliserida
|
2,6
|
Propilen monostearat
|
3,4
|
Sorbitan
monostearat
|
4,7
|
Polisorbat
|
14,9
|
C. Zat Penstabil
(Stabilizer)
Zat penstabil
emulsi adalah semua bahan atau senyawa yang dapat membantu pembentukan emulsi
sekaligus berfungsi mempertahankan stabilitas emulsi (Glicksman, 1969). Cara
kerja bahan tersebut adalah menurunkan tegangan permukaan dengan cara membentuk
lapisan pelindung yang menyelubungi butiran sehingga senyawa yang tidak larut
lebih mudah terdispersi dalam sistem emulsi.
Bahan penstabil
dapat membentuk film di sekeliling globula lemak, sehingga globula- globula
lemak tidak dapat bergabung menjadi globula yang lebih besar. Akibatnya, emulsi
menjadi stabil.
Doan dan Keeney (1965) di
dalam Arbuckle (1977) menyatakan bahwa penggunaan bahan penstabil dalam makanan
dimaksudkan untuk memadatkan, membentuk suspensi, dan juga sebagai penstabil
emulsi. Bahan penstabil dapat meningkatkan viskositas yang akan menghalangi
bergabungnya beberapa butiran zat terdispersi menjadi butiran yang lebih besar.
Bahan penstabil juga mampu mengikat air bebas dalam jumlah besar. sehingga
tekstur yang dihasilkan menjadi lebih halus.
Bahan-bahan hidrokoloid digunakan
sebagai bahan penstabil karena mempunyai tekstur dan struktur yang khas.
Hidrokoloid diklasifikasikan dalam golongan gum, berasal dan bahan-bahan alam
maupun bahan lain yang diproses secara kimia hingga didapatkan sifat yang
diinginkan. Keuntungan penggunaan hidrokoloid sebagai bahan penstabil adalah
kemampuannya untuk meningkatkan viskositas, kelarutan dalam air, dan mampu
membentuk gel (Hodge dan Osman, 1976).
Gum diklasifikasikan dalam
tiga golongan, yaitu gum sintetik, gum termodifikasi, dan gum alami. Salah satu
jenis gum alamiah yang sering digunakan dalam pembentukan emulsi adalah gum
arab, mengingat kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan air (Glicksman
dan Sand, 1973). Selain itu. gum juga bersifat agak basa, larut dalam air, dan
tidak terlalu kental. Ditinjau dati strukturnya, gum arab tergolong sebagai
polisakarida yang mengandung garam-garam Ca, Na, dan Mg. Dalam industri pangan,
gum arab digunakan sebagai pengikat aroma, penstabil busa dalam minuman berkarbonasi,
penstabil dan pengemulsi dalam pembuatan es krim (Klose dan Glicksman, 1972).
Struktur Gum Carob / Locust Bean
|
Struktur Gum Arab
|
D. Zat Pengembang
Pengembang adonan merupakan
salah satu zat aditif makanan yaitu bahan yang sengaja ditambahkan dan
dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk memantapkan bentuk dan rupa hasil
pengolahan.
No comments:
Post a Comment